TUJUH MATERI PENTING BAGI DUNIA PENDIDIKAN

Buku karangan : Edgar Morin
Penerbit : Kanisius
Tahun : 2008


1. Mendeteksi Kekeliruan dan Ilusi
Tujuan pendidikan adalah penerusan atau alih pengetahuan. Namun, ternyata pendidikan justru gagal menangkap realitas pengetahuan manusia, yakni sistemnya, kelemahannya, kesulitannya, dan kecenderungannya terhadap kekeliruandan ilusi, Pendidikan tidak hirau untuk mengajarkan hakikat pengetahuan.
Pengetahuan bukanlah alat siap pakai yang dapat digunakan tanpa mempelajari sifatnya. Mengenal pengetahuan harus menjadi syarat utama mempersiapkan pikiran menghadapi ancaman kekeliruan dan ilmu yang terus menerus menjadi parasit dalam pikiran manusia. Mengenal pengetahuan dalam soal mempersenjatai pikiran dalam pertempuran hidup-mati untuk memperoleh kejernihan.
Kita harus memperkenalkan dan mengembangkan kajian mengenai aspek-aspek kultural, intelektual, dan serebral pengetahuan manusia, mengenai proses dan caranya, serta pelbagi disposisi psikologis dan budaya yang membuat kita rentan terhadap kekeliruan dan ilusi.

2. Prinsip Pengetahuan Yang Saling Berkaitan
Salah satu permasalahan pokok yang terlalu sering disalahpahami adalah bagaimana mengembangkan suatu cara belajar yang mampu menangkap masalah-masalah yang bersifat umum dan mendasar, seraya menyisipkan pengetahuan yang bersifat parsial kedalamnya.
Dominannya belajar yang terbagi-bagi ke dalam berbagai disiplin ilmu sering membuat kita tidak mampu menghubungkan bagian-bagian dengan keseluruhan. Belajar semacam ini seharusnya diganti dengan belajar yang dapat memahami materi ajar sesuai konteks, kompleksitas, dan totalitasnya.
Kita harus mengembangkan potensi alami pikiran manusia, yaitu kemampuan untuk menempatkan semua informasi dalam suatu konteks dan entitas. Kita perlu mengajarkan berbagai metode untuk memahami hubungan satu sama lain dan pengaruh timbal balik antara bagian-bagian dan keseluruhan dalam dunia yang kompleks.

3. Mengajarkan Kondisi Manusiawi
Manusia adalah makhluk yang sekaligus bersifat fisis, biologis, psikologis, kultural, sosial, dan historis. Kesatuan kodrat manusia yang kompleks ini terpecah belah akibat pendidikan yang terkotak-kotak ke dalam berbagai disiplin ilmu. Oleh karenanya, kini kita tidak dapat lagi belajar apa artinya menjadi manusia. Manusialah penghubung antara kesatuan dan keberagaman dari semua hal.

4. Jati Diri Bumi
Masa depan umat manusia sekarang berada pada skala planet. Hal pokok ini merupakan realitas hakiki lainnya yang kerap diabaikan oleh pendidikan. Kita sangat membutuhkan pengetahuan tentang perkembangan-perkembangan planeter terkini yang niscaya akan tumbuh pesat pada abad ke-21 dan penyadaran akan keberadaan kita sebagai penghuni bumi.
Sejarah era planeter harus diajarkan dari awal perkembangannya pada abad ke-16 ketika komunikasi terjalin di antara lima benua. Tanpa mengaburkan kejamnya penindasan dan penjajahan di masa lalu dan sekarang, kita harus menunjukkan bagaimana semua bagian dunia saling bergantung satu sama lain.
Konfigurasi krisis berskala planet yang kompleks pada abad ke-20 harus diurai untuk menunjukkan bagaimana umat manusia sekarang menghadapi persoalan-persoalan hidup-mati yang sama dan takdir yang sama.

5. Menghadapi Ketidakpastian
Di satu sisi, kita telah mendapatkan banyak kepastian melalui sains, tetapi di sisi lain sains abad ke-20 juga telah menunjukkan banyak bidang ketidakpastian. Pendidikan seharusnya mencakup studi tentang ketidakpastikan-ketidakpastian yang telah muncul dalam ilmu-ilmu fisika (mikrofisika, termodinamika, kosmologi), ilmu evolusi biologis, dan ilmu sejarah.
Kita harus mengajarkan prinsip-prinsip strategis untuk menghadapi peluang, hal-hal yang tak terduga dan tidak pasti, serta cara mengubah strategi-strategi ini sebagai tanggapan atas perolehan informasi yang terus-menerus. Kita harus belajar mengarungi lautan ketidakpastian, berlayar menuju dan mengitari pulau kepastian.
‘Dewa memberi kita banyak kejutan : yang diharapkan tidak terjadi, justru mereka membuka pintu bagi yang tidak diharapkan.’ Larik ini, yang ditulis lebih dari dua puluh lima abad yang lalu oleh penyair Yunani Euripides, selalu relevan. Konsepsi-konsepsi kaum determinis tentang sejarah manusia, yang diklaim dapat memprediksi masa depan, telah ditinggalkan. Kajian mengenai peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian penting dan masa kini menunjukkan betapa tak terduganya peristiwa dan kejadian tersebut dan betapa tak terprediksinya arah petualangan manusia. Ini mendorong kita untuk mempersiapkan pikiran agar siap menantikan hal yang tak terduga dan menghadapinya. Setiap orang yang bertanggung jawab terhadap pendidikan harus siap maju ke pos-pos terdepan ketidakpastian dalam zaman kita.

6. Memahami Satu Sama Lain
Pemahaman bisa berarti sarana dan juga tujuan komunikasi manusia. Namun demikian, kita tidak mengajarkan pemahaman. Planet kita menghendaki agar kita saling memahami dalam segala arah. Mengingat betapa pentingnya mengajarkan pemahaman di semua tingkat pendidikan pada segala usia, pembangunan kualitas memerlukan pembaharuan mentalitas. Ini tugas pendidikan masa depan.
Saling memahami diantara manusia, entah dekat entah jauh, menjadi kebutuhan penting agar relasi antar manusia melewati tahap kesalahpahaman.
Oleh karena itu, semua sebab, cara, dan akibat kesalahpahaman meruapkan penyebab dan bukan gejala rasisme, xenofobia, dan diskriminasi. Pemahaman yang makin baik membentuk dasar yang kokoh bagi pendidikan untuk perdamaian yang meneguhkan fondasi dan panggilan kita.

7. Etika Bagi Umat Manusia
Pendidikan harus menuntun ke ‘antropo-etika’ (etika manusia) dengan mengenali tiga serangkai kondisi manusia : manusia adalah serentak individu-individu/spesies membutuhkan kontrol manusia oleh individu dan kontrol individu oleh masyarakat. Dengan kata lain, demokrasi dan etika individu-spesies menghendaki suatu kewargaan dunia pada abad ke-21.
Etika tidak dapat diajarkan melalui pelajaran moral. Etika harus mewujud dalam kesadaran akal budi bahwa manusia secara serentak merupakan individu sekaligus anggota masyarakat dan spesies. Setiap individu menyandang ketiga realitas ini di dalam dirinya. Perkembangan manusia yang sejati harus mencakup perkembangan terpadu antara otonomi individu, partisipasi kelompok, dan kesadaran sebagai bagian umur manusia.
Dari pokok ini, dua tujuan etis/politis pokok milenium baru adalah terbentuknya hubungan saling mengontrol antara masyarakat dan individu melalui jalan demokrasi, dan terpenuhinya solidaritas umat manusia sebagai sebuah komunitas planet. Pendidikan seharusnya tidak hanya mendukung suatu kesadaran akan Tanah Air Bumi, tetapi juga membantu agar kesadaran ini mewujud sebagai kehendak untuk menyadari keberadaan kita sebagai warga bumi.